ASPEK PEMASARAN
a. Kelanjutan usaha
Setelah sekian lama menunggu akhirnya pemerintah memberi respon positif terhadap tuntutan para petambak, melalui perusahaan pengelola aset (ppa) pt dipasena ditawarkan secara terbuka kepada para investor yang akhirnya dimenangkan oleh recapital advisor milik dua karib, Sandiaga Uno dan Rosan Perkasa Roeslani setelah mengalahkan beberapa pesaing lainnya. Diakhir oktober 2005 Pahlawan baru untuk ribuan petambak dan karyawan pt dipasena ini menyanggupi persyaratan yang diajukan pemerintah berupa kewajiban membayar dana talangan dan beberapa opsi tentang kepemilikan saham, bayangan tentang kehidupan yang lebih layak tergambar jelas diraut wajah anak-anak bangsa bumi dipasena. Namun senyum itu tak bertahan lama, 1 maret 2007 persis tujuh tahun sejak kejadian mencekam yang menewaskan dua orang anggota brimob dan satu orang petambak, recavital advisor melepas pt dipasena kembali ke pangkuan pemerintah. Infeksi lambung manajemen dan masalah sistem pencernaan pada hal-hal komlpeksitas yang salah perhitungan membuat recapital advisor harus merelakan dana 700 milyar yang hendak di konversikan menjadi saham.
b. Dampak masyarakat
Penyelesaian sengketa antara petambak plasma dengan perusahaan intinya PT. Dipasena Citra Darmaja makin tidak berujung, menyusul pengusiran para karyawan oleh petambak tanggal 19 September 2001 lalu. Meskipun sudah ada jaminan keamanan dari Polda Lampung, namun hingga kemarin, sekitar 1.300 karyawan masih belum berani bekerja kembali. Maklum, intimidasi dan pengusiran yang mereka alami bukan lagi sekali dua sehingga sudah menimbulkan trauma yang mendalam.
Sebelumnya tanggal 13 September 2001 sudah dicapai kesepakatan damai antara petambak dengan karyawan yang ditandatangani semua pihak yang bertikai di Bandar Lampung. Dalam kesepakatan itu, semua pihak sepakat mematuhi ketentuan yang tertuang dalam naskah kesepakatan dan tidak akan saling mengganggu. Bahkan pihak-pihak yang bertikai akan bekerja sama dengan baik.
Sepekan kemudian keributan kembali terjadi. Kendati kuasa hukum petambak membantah, kliennya yang melakukan intimidasi dan pengusiran, tapi kuat dugaan secara pribadi anggota Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang menjadi kliennya ikut terlibat. Apalagi dari awal, P3UW sudah bertekad untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan PT. Dipasena Citra Darmaja dan mendesak pemerintah mengambil alih manajemen tambak terpadu terbesar di Asia Tenggara ini.
Apalagi kini pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian sudah makin banyak yang tentunya masing-masing pihak memiliki agenda tersendiri. Kalau sebelumnya yang bertikai hanya inti yang dalam hal ini PT. Dipasena Citra Darmaja dengan P3UW sebagai plasma, maka belakangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melibatkan diri dengan alasan para karyawan DCD adalah anggotanya.
Menanggapi pengusiran karyawan Dipasena, Ketua Bidang Hukum SPSI Lampung Usman Gumanti berkomentar keras. SPSI mendesak aparat keamanan segera bertindak. Saat ini yang dibutuhkan adalah ketegasan aparat kepolsian. Termasuk Pemda Lampung yang harus segera mengambil tindakan. Jika intimidasi terus berlanjut, SPSI mengancam pihaknya akan mengadu ke badan buruh PBB ILO (International Labour Organization).
Sebelumnya, akhir Maret lalu, pemerintah pusat melalui KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) sudah menyetujui lima pola restrukturisasi tambak Dipasena. Pertama, penghapusan tunggakan bunga utang plasma Rp1,1 triliun. Kedua, porsi utang plasma yang dapat dicicil dari arus kas ditetapkan Rp100 juta per petambak. Atau berkurang dibanding keputusan KKSK per 27 April 2000 yang menetapkan Rp135 juta per petambak. Ketiga, utang petambak senilai Rp1,9 triliun yang tak dapat direstrukturisasi dibebankan ke PT. Dipasena Citra Darmaja, tidak dialihkan ke pemegang saham (pemerintah).
Keempat, pemerintah menunjuk financial advisor (penasihat keuangan) yang reputable untuk membantu BPPN dan PT. Dipasena Citra Darmaja mempercepat proses restrukturisasi. Kelima, menetapkan syarat-syarat yang harus dilakukan PT. Dipasena Citra Darmaja. Di antaranya, penetapan pola kemitraan inti-plasma secara transparan dan saling menguntungkan. PT. Dipasena Citra Darmaja juga diminta menunjuk pihak ketiga yang independen guna mengelola kredit petambak plasma dan transaksi dagang antara inti dan plasma.
Dari kebijakan itu tampak bahwa sikap pemerintah belum berubah, masih mempercayakan tambak seluas 9.600 ha yang terhampar di muara Sungai Mesuji itu kepada PT. Dipasena Citra Darmaja yang menurut petambak sudah tidak mungkin dilanjutkan lagi. Oleh sebab itulah dalam safari unjukrasa petambak yang terakhir ke Jakarta, awal Mei lalu mereka menuntut kepada BPPN agar pemerintah segera mengambil alih pengelolaan pertambakan itu. Itulah barangkali kenapa tambak yang mulai dibuka sejak 11 Agustus 1988 di atas lahan 16.200 ha tetap masih kisruh. Padahal kasus itu sudah mencuat ke permukaan sejak Oktober 1999 silam.
Ketidakransparan pertikaian petambak dengan PT. Dipasena Citra Darmaja tidak akan sekacau sekarang sekiranya, dari awal pihak inti tidak arogan dan berlaku transparan dalam berbisnis dengan mitranya. Sejak dibuka hingga kini, belum satu pun dari sekitar 9.000 petambak yang sudah melunasi utangnya. Sebagaimana diakui sejumlah petambak, dengan beban kredit investasi (KI) Rp70-Rp80 juta dan kredit modal kerja (KMK) Rp30—Rp50 juta seharusnya utang sudah lunas paling lama enam tahun, dari tahun 1988 hingga 1994 dengan rata-rata setoran udang ke inti 2 ton per tahun pada harga Rp20 ribu/kg (rata-rata harga udang kurun 1988-1994) berjumlah Rp4 juta.
Perhitungannya, total pinjaman Rp120 juta ditambah dengan beban bunga 15 persen per tahun selama enam tahun Rp108 juta. Hasil penjualan udang selama enam tahun yakni 6 kali Rp4 juta berjumlah Rp240 juta. Tapi petambak tidak bisa memonitor perkembangan kreditnya, termasuk nilai setoran setiap habis panen karena selama menjadi mitra PT. Dipasena Citra Darmaja kepada mereka tidak pernah diberikan laporan rekening tahunan kredit.
Bahkan akte perjanjian kredit pun mereka tidak memiliki. Hanya sewaktu hendak menjadi plasma, kepada mereka disodori berkas yang harus mereka tandatangani. Hingga 10 tahun kemudian, justru utang petambak bukannya berkurang, malah berlipat ganda. Sebagaimana dilaporkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bulan April 2000, rata-rata utang pokok petambak mencapai Rp135 juta, di luar bunga. Lalu pertanyaannya sekarang.
c. Pendapatan Asli Daerah [PAD]
Sejak beroperasinya PT. Dipasena Citra Darmaja di Lampung, sumbangan devisa dari tahun 1995-1998 selalu meningkat. Kontribusi nyata telah dilakukan PT. Dipasena Citra Darmaja untuk mengangkat citra Indonesia dimata pelaku bisnis internasional dimulai lewat panen perdana pada tahun 1990. Tercatat devisa negara yang disumbangkan oleh Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS. Disusul 30 juta dolar AS pada tahun 1992. Dan puncaknya pada tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Kemudian pada tahun 1991 terjadi peningkatan produksi sebesar 1 ton udang windu yang melonjak menjadi 11.068 ton pada 1994. Setahun kemudian naik menjadi 16.250 ton. Pasar ekspornya pun meliputi Jepang, AS dan negaranegara di Eropa. Citra Indonesia di mata dunia, pada tahun 1997, sempat terangkat sebagai produsen udang terbesar kedua di dunia.
Sub-Sektor Perikanan Indonesia merupakan sub-sektor yang tetap mengalami pertumbuhan dimasa krisis ekonomi yang dialami Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini. Dengan nilai ekspor diatas US$ 1,6 Milyar setahun dengan pertumbuhan rata-rata 3,1% pertahun, menjadikan sub-sektor perikanan salah satu subsektor yang membantu perekonomian Indonesia dimasa krisis. Ekspor komoditi perikanan bertumpuh pada dua jenis komodoti utama, yaitu udang dan kelompok ikan laut seperti tuna, cakalang dan tongkol. Komoditi udang sangat berperan dalam peningkatan ekspor sub-sektor perikanan, karena mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor sub-sektor perikanan dengan nilai ekspor diatas satu milyar dolar Amerika setahun. Ekspor Udang Indonesia sampai saat ini masih sangat mengandalkan pada pasar Jepang dengan nilai ekspor US$ 635.174.000 dan kontribusinya sebesar 62,9% dari total ekspor udang Indonesia di tahun 1998.
Ekspor Udang Indonesia merupakan 12,1% dari total ekspor udang dunia dengan permintaan pasar dunia senilai US$ 11 milyar setahun. Industri Udang Indonesia sangat didominasi oleh nelayan penangkap udang di laut, petambak udang rakyat dan pengusaha kecil tambak udang, dengan total produksi sebesar 394.198 ton ditahun 1997 dan 53,8% dari total produksi merupakan hasil tangkapan udang.
Nilai total ekspor Provinsi Lampung bulan Maret 2011 mencapai US$ 281,93 juta atau mengalami kenaikan US$ 81,39 juta (40,59 %) dibandingkan ekspor Februari 2011. Jika dibandingkan dengan Maret 2010, naik US$ 119,96 juta (74,07 %) dari senilai US$ 161,97 juta. Lima golongan barang utama mengalami peningkatan nilai ekspor pada Maret 2011 dibandingkan Februari 2011 adalah kopi, teh, rempah-rempah naik US$ 39,61 juta; lemak & minyak hewani/nabati US$ 29,45 juta; olahan dari buah-buahan/sayuran US$ 6,35 juta; daging dan ikan olahan US$ 4,24 juta; dan Karet dan barang dari karet US$ 2,54 juta.
Lima golongan barang utama lainnya mengalami penurunan nilai ekspor pada Maret 2011 dibandingkan Februari 2011. Penurunan ekspor terbesar terjadi pada golongan barang bubur kertas/pulp turun US$ 7,62 juta; kakao / coklat US$ 6,22 juta; bahan kimia organik US$ 1,85 juta; ikan dan udang US$ 1,76 juta; dan kayu, barang dari kayu US$ 0,02 juta. Nilai ekspor Maret 2011, terutama lemak dan minyak hewan/nabati; kopi, teh, dan rempah-rempah; ikan dan udang; dan bubur kertas/pulp; mempunyai kontribusi yang relatif besar yaitu masing-masing sebesar 24,54 %; 22,06 %; 7,04 %; dan 6,36 % dari total ekspor Maret 2011 Provinsi Lampung. Peranan keempat golongan tersebut mencapai 59,99 % dari total nilai ekspor pada periode yang sama.
Negara tujuan utama ekspor Maret 2011 yaitu ke negara Amerika yang mencapai US$ 37,98 juta, diikuti China, Jepang dan Taiwan masing-masing sebesar US$ 25,69 juta, US$ 25,17 juta dan US$ 17,84 juta dan peranan keempatnya mencapai 37,84 % terhadap total ekspor pada bulan tersebut.
d. Dampak teknologi
Sosialisasi tentang teknologi budidaya yang mencoba menerapkan water close sistem dan module base sebagai solusi memperkecil kerugian akibat penyakit, menyisakan masalah sosial dan lingkungan yang hingga kini belum juga teratasi. PT CPP menghendaki pembuatan tandon penampungan air yang akan digunakan untuk mensterilisasi air dan mengolah kualitas air yang digunakan untuk berbudidaya. Mengorbankan empat petak tambak disetiap jalurnya sebagai lahan pembuatan kolam penampungan yang berarti juga membuat dua kepala keluarga harus rela dipindahkan ke tempat lain yang masih kosong di areal Bumi Dipasena, meski meninggalkan bermacam permasalahan namun para petambak plasma menerima dengan lapang dada demi kondisi budidaya yang lebih baik. Dan kenyataan yang terjadi sekarang pond treatment (tandon penampungan air) tak lebih hanya sebagai tempat penampungan dan sterilisasi standart (pemberian diklorvos sebagai crustacide tanpa memikirkan efek keberlanjutan) yang terus menaikkan tarif pemakaian tanpa adanya upaya pemeliharaan atau perbaikan jasa pengolahan air.
Gemuruh alat berat mulai terdengar memperdalam saluran-saluran air mengiringi keikhlasan para petambak untuk menutup sebagian besar mata pencarian mereka semenjak ditinggal oleh samsul nursalim, mereka tak lagi boleh mencari ikan di saluran air dengan memasang bubu, tanaman sayuran harus rela tertimbun endapan lumpur, dan bersiap meninggalkan kerjaan sampingan lainnya untuk lebih konsentrasi pada proyek rehabilitasi tambak mereka masing-masing. Setengah blok dari keseluruhan 16 blok mulai dikerjakan oleh pahlawan Dipasena yang baru ini, dijadwalkan revitalisasi akan rampung dalam 16-18 bulan. Sebuah rencana baru yang membuat ribuan karyawan dan petambak menaruh harapan besar pada PT CPP untuk merubah nasib mereka yang terkatung-katung selama ini. Terlepas dari nasib sedih sebagian karyawan yang di PHK sepihak dan sebagian lagi yang dideportasi ke lahan jagung.
Puluhan truk container bermuatan plastik tambak mulai berdatangan, begitu pula dengan sarana budidaya lainnya seperti kincir air dan kompa submersible. Dan hampir semua pekerjaan lapangan yang berkaitan dengan proyek revitalisasi ini diserahkan pada kontraktor dengan tujuan untuk menekan biaya operasional seminimal mungkin, tak sedikit kontraktor yang merugi akibat ditinggal para pekerjanya sebab estimasi biaya untuk upah pekerja ditentukan dari hasil opname dan audit fisik selama beberapa hari kemudian dibagi rata-rata. Sehingga upah yang diterima oleh para pekerja setelah di potong oleh kontraktor untuk pajak dan lain-lain jauh dari jumlah upah minimum regional bahkan tak cukup untuk biaya hidup sehari-hari di Bumi Dipasena yang terkenal serba mahal. Hal ini pula lah yang menjadi salah satu faktor proyek revitalisasi mulai berjalan lambat.
PT Dipasena Citra Darmaja adalah salah satu dari tiga perusahaan yang diserahkan pengutang kakap Sjamsul Nursalim sebagai bagian dari Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar Rp 28,4 triliun. Saat diserahkan, tambak udang ini dinilai konsultan sebesar Rp 19 triliun. Namun, setelah terjadi konflik antara petambak (plasma) dengan Sjamsul (inti), operasi tambak ini berhenti dan nilainya merosot drastis.
Tim Bantuan Hukum (TBH) BPPN berdasarkan pada surat PT Tunas Sepadan Investama (perusahaan induk penampung aset Sjamsul) tertanggal 13 Oktober 1999 menyimpulkan aset Sjamsul senilai Rp 27,4 triliun telah merosot tinggal Rp 6,3 triliun. Dipasena pun anjlok dari Rp 20 triliun menjadi Rp 5,2 triliun.
Ini disebabkan utang petambak yang dijaminkan, berpotensi dan bahkan ada yang sudah macet. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menyebutkan hutang para petambak yang ketika itu jumlahnya 9033 itu berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 1 Miliar. Padahal, saat akad kredit tahun 1989, mereka hanya berhutang Rp 135 juta. Mengenai anjloknya nilai Dipasena, BPPN tetap berpegangan pada hasil audit awal seluruh aset yang dilakukan BPK. Ditambah hasil uji tuntas keuangan auditor Ernts & Young yang justru menemukan kelebihan nilai sebesar US$ 1,3 juta.
Pemenang tender penjualan 78 persen saham PT Gajah Tunggal Tbk dan 20,4 persen saham GT Petrochem dalam Program Penjualan Aset Investasi (PPAI) BPPN tahap ketiga, Garibaldi Venture Fund Ltd bersedia meneken perjanjian penghapusan utang PT Dipasena Citra Darmaja dan Perusahaan Induk PT Tunas Sepadan Investama sebesar Rp 12 triliun.
Masalah penghapusan utang Dipasena berkaitan dengan rencana pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada pengutang kakap Sjamsul Nursalim. Dia menyerahkan aset Gajah Tunggal, Dipasena sebagai bagian PKPS Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) senilai Rp 28,4 triliun. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sjamsul sudah menyerahkan tiga perusahaan induk senilai Rp 27,49 triliun. Aset tersebut yaitu GT Petrochem Group senilai Rp 5,358 triliun, GT Tire Group senilai Rp 2,175 triliun dan PT Dipasena Citra Darmaja senilai Rp 19,961 triliun.
Utang Dipasena sendiri berawal dari adanya penyaluran dana dari GT Petrochem ke Dipasena antara tahun 1999 sampai 2002 sebesar Rp 1,2 triliun. Dana tersebut digunakan untuk biaya operasional Dipasena agar tidak berhenti sama sekali. Antara lain untuk pembayaran gaji, pajak, dan biaya operasional lainnya.
Uang itu juga dikucurkan karena saat itu BPPN tidak mempunyai dana untuk menyalurkan ke Dipasena. Berdasarkan perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) yang diteken Sjamsul, manajemen mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah apapun agar aset tersebut tidak rusak.
Juli 2003, Badan Penyehatan Perbankan Nasional melakukan rehabilitasi terhadap tambak udang terbesar di Asia Tenggara, PT Dipasena Citra Darmaja guna meningkatkan nilai perusahaan tersebut.
Dalam program rehabilitasi itu, saat ini sudah bisa diatasi masalah kesejahteraan, komersialisasi produksi udang, serta keamanan di kawasan tambak. Kondisinya sudah jauh berbeda dengan situasi ketidakpastian di masa sebelumnya. Bahkan, seluruh atau delapan tambak udang di Lampung sudah bisa beroperasi kembali. Februari 2004 lalu, Bank Mandiri pernah menyatakan akan mengucurkan kredit ke kepada usaha tambak PT Dipasena Cipta Darmaja (Dipasena) senilai Rp.500 miliar. Pada April 2004, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) akan membantu 11 ribu petani tambak udang Dipasena untuk mendapatkan pembiayaan kembali maksimal sebesar Rp 1,1 triliun. Pembiayaan tersebut merupakan hasil penggabungan utang lama dan tambahan utang baru. Pembiayaan kembali tersebut akan dilakukan jika petambak atau plasma membutuhkan modal kerja tambahan sebagai bagian dari ekspansi perusahaan.
Pada awal tahun 1990-an, sebuah megaproyek industri budi daya udang yang pertama dan terbesar dibangun di Indonesia. Proyek berskala besar ini menggunakan konsep tambak inti rakyat (TIR) dan menghimpun puluhan ribu tenaga kerja. Tambak modern ini kemudian dikenal dengan PT Dipasena Citra Darmaja (DCD), yang kini berganti nama menjadi PT Aruna Wijaya Sakti. DCD membangun tambak di areal konsesi seluas 16.250 hektar dari 30.000 hektar cadangan yang diberikan Pemda Provinsi Lampung dengan 16 blok. Investasi DCD memang tidak tanggung-tanggung. Selain membangun tambak, kawasan yang semula berupa rawa, juga ditata menjadi tujuh areal infrastruktur seluas 753.28 hektar dan sebuah infrastruktur Tata Kota seluas 1.000 hektar. DCD juga membangun dermaga ekspor khusus untuk pengapalan udang segar ke mancanegara. Kawasan yang belakangan populer dengan nama "Bumi Dipasena", berubah menjadi kota pantai yang mentereng, lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana perkotaan. Selain infrastruktur tambak juga dibangun sarana penunjang aktivitas usaha tambak udang. Seperti, jalan, perumahan karyawan, pasar lokal, koperasi, lapangan olah raga, tempat ibadah dan fasilitas penting perusahaan seperti perkantoran, pabrik pakan dan gudang pakan, instalasi pendingin (cold storage), koperasi, dan lain-lain. Sejak adanya DCD di Provinsi Lampung, sumbangan devisa yang diberikan dari tahun 1995 hingga 1998 selalu meningkat. Pada tahun 1991, mereka memproduksi 1.873 ton udang windu yang melonjak menjadi 11.068 ton pada 1994. Setahun kemudian naik menjadi 16.250 ton. Ekspor udang sebagian besar dilempar ke pasaran Jepang, Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa. Citra Indonesia di mata dunia, pada tahun 1997, sempat terangkat sebagai produsen udang terbesar kedua di dunia. Kontribusi yang tidak sedikit, bahkan boleh dibilang sangat besar, diberikan oleh tambak udang terpadu DCD.
Read more...PT Dipasena Citra Darmaja didirikan pada 23 Oktober 1987 dan pada tahun yang sama, telah diberikan konsesi pertama untuk mengembangkan 16.250 hektar lahan pasang surut yang sebelumnya tak berpenghuni di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan. Perusahaan menyelesaikan konversi lahan menjadi fasilitas akuakultur yang terintegrasi dengan 18.064 tambak (sebanyak 3.613 hektar areal budidaya) dan infrastruktur pendukung termasuk 1.300 kilometer kanal inlet dan outlet. Perusahaan ini juga mengembangkan fasilitas penyimpanan pengolahan dan dingin di tempat yang sama dan mulai proses udang pada tahun 1990. PT. Perusahaan mengakuisisi pabrik pengolahan pakan udang, PT. Bestari Indoprima in November 1996.. Pada tahun 1992, perusahaan mulai mengekspor udang ke Amerika Serikat dan menerima izin dari Food and Drug Administration (FDA) Departemen Amerika Serikat untuk produk yang harus diimpor tanpa penahanan otomatis pada tahun 1993.
Pada bulan Juni 1997, Dipasena Group tumbuh keluar kolam dan fasilitas pengolahan sumber asli situsnya 16.250 hektar dianggap menjadi zona ekspor, memungkinkan Grup Dipasena untuk mengimpor dan mengekspor produk-produk dari daerah ini tanpa harus membayar pajak atau tugas, dan juga berarti bahwa semua produk yang dihasilkan di situs harus diekspor. Semua penjualan udang Dipasena Group berada melalui distributor dengan siapa hubungan telah dipertahankan dalam 10 tahun terakhir. Kelompok Usaha Dipasena menyadari implikasi lingkungan dan sosial yang berkaitan dengan kegiatan budidaya udang dan untuk meminimalkan dampak kegiatannya terhadap lingkungan. Dua pemecah gelombang sekitar 300 m dibangun untuk mengurangi lumpur dan polutan dari memasuki saluran inlet, yang digunakan untuk mendapatkan air laut dari laut. Grup juga mempertahankan sabuk hijau mangrove antara 4-700 m lebar di sepanjang garis pantai. mangrove yang melindungi pantai dari erosi dan membantu menjaga kualitas air dengan menyerap beberapa nutrisi limbah.. Kelompok Usaha Dipasena dipelihara sekitar 24.233 hektar hutan Bakau juga memberikan habitat bagi banyak spesies krustasea dan sirip ikan.
© Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP